Jumat, 21 Oktober 2011

Mataram Dan Segoro Kidul

Panembahan Senopati, Raden
Bagus Danang Sutowijoyo adalah putera sulung Ki Pemanahan. Kalau dirunut pada silsilah, Prabu Brawijaya pada perkawinannya dg Dewi Wandan (wanita yg berkulit kehitam-hitaman)
melahirkan Ki Bondan Kejawan yang kemudian memperistri Nyai
Nawangsih putera Ki Gede Tarub dan melahirkan Ki Ageng Getas Pendowo atau Syekh Ngabdullah dan seorang puteri (dinikahkan
dengan Ki Ageng Ngerang). Ki
Ageng Getas Pendowo memiliki 6 putera, Ki Ageng Selo, Nyai Ageng Pakis, Nyai Ageng Purno, Nyai Ageng Wanglu, Nyai Ageng Bokong, dan Nyai Ageng Adibaya.
Keturunan Ki Ageng Selo, dari 7 hanya satu yang laki-laki yaitu Ki Ageng Ngenis yang kemudian berputera Ki Ageng Pemanahan yang selanjutnya melahirkan Sutowijoyo. Sesuai pesan ayahnya, Ki Pemanahan dan restu sultan Pajang, Sutowijoyo menggantikan
ayahnya sebagai pembesar atau Panembahan Mataram. Seperti dikatakan oleh Panembahan Giri dan Kanjeng Sunan Kalijaga,
keturunan Ki Pemanahan kelak akan menjadi raja aung yang meguasai tanah Jawa.
Sebagaimana ayahnya, Sutowijoyo selalu mencari kebenaran tentang dua ramalan nujum dua orang sesepuh itu. Menjelang tengah malam Sutowijoyo keluar dari istana dengan diserta lima orang pengawalnya menuju ke Lipuro. Dan selanjutnya ia tidur di atas kumuloso, sebuah batu hitam yang halus permukaannya.
Kepergiannya membuat kaget Ki Juru Mertani (paman dari ibu) karena tidak menemukannya di
rumah. Namun, Ki Juru
mengetahui dan hafal kemana putranya kemenakannya pergi. Setibanya di Lipuro, didapati
Sutowijoyo sedang tidur pulas, kemudian dibangunlah Sutowijoyo dengan berucap: "Tole, bangunlah!. Katanya ingin menjadi raja, mengapa enak-enak tidur
saja". Tiba-tiba dilihat Ki Juru Mertani ada sebuah bintang sebesar buah kelapa yang masih utuh terletak di kepala Sutowijoyo, kemudian ia membangunkannya. "Tole,
bangunlah segera. Yang bersinar di atas kepalamu seperti bulan itu apa?". Bintang itu menjawab
seperti manusia: "Ketahuilah, aku ini bintang memberi khabar kepadamu, maksudmu bersemedi dengan khusyuk, meminta
kepada Tuhan yang Mahakuasa, sekarang sudah diterima oleh-Nya. Yang kamu minta diizinkan, kamu akan menjadi raja menguasai tanah Jawa, turun sampai anak cucumu, akan menjadi raja di Mataram tiada bandingnya. Sangat ditakuti oleh lawan, kaya dengan emas dan permata. Kelak buyutmu yang menjadi raja di Mataram, negara kemudian pecah. Sering terjadi gerhana matahari, gunung
meletus, hujan abu atau lumpur. Itu pertanda akan rusak". Setelah berkata demikian bintang itu lalu menghilang. Sutowijoyo berkata dalam hati "permohonanku sudah dikabulkan oleh Tuhan, niatku menjadi raja
menggantikan kanjeng Sultan (Pajang), turun sampai anak cucuku, sebagai pelita tanah Jawa, orang tanah Jawa semuanya tunduk". Lain halnya dengan Ki Juru Mertani, ia mengetahui apa yang dipikirkan putra kemenakannya itu, kemudian ia bertutur lembut.
"Senopati, kamu jangan berfikir sombong, memastikan barang yang belum tentu terjadi. Itu tidak benar. Jika kamu percaya pada omongan bintang, itu kamu salah. Sebab itu namanya suara
ghaib, boleh benar boleh bohong. Tidak dapat ditangkap seperti lidah manusia, dan kelak jika
kamu benar-benar berperang melawan orang Pajang, tentu bintang itu tidak bisa kamu tagih
atau kamu minta pertolongannya. Tidak salah jika aku dan kamu menjadi raja Mataram dan kalah dalam perangnya, tidak luput juga menjadi tawanan" Mendengar perkataan pamannya, Senopati akhirnya sadar, dan tidak lupa minta maaf.
Dan selanjutnya Senopati
berkata "Paman, bagaimana
petunjuk paman, saya akan menurut. Diumpamakan saya
adalah sebuah perahu dan
paman adalah kemudinya".
Selanjutnya Ki Juru Mertani
bertutur, "Tole, kalau kau sudah menurut, mari kita memohon lagi kepada TUhan, semua yang sulit
mudah-mudahan bisa
dimudahkan. Mari kita membagi tugas. Kamu pergi ke laut selatan dan aku akan pergi ke Gunung Merapi, Meneges kepada Tuhan. Mari kita berangkat". Keduanay berpisah sesuai
kesepakatan. Sutowijoyo
berangkat ke laut kidul melalui kali Opak (Ompak)
menghanyutkan diri hingga
sampai laut kidul, bertapa seperti yang biasa dilakukan oleh ayahnya, Ki Pemanahan. Istana laut kidul geger, hawa di laut kidul memanas.Air laut kidul
memanas membuat seisi laut
ribut. Seluruh penghuninya terkena hawa panas karena
cipta dan rasa Senopati
Sutowijoyo yang mengheningkan cipta dengan membaca doa.
Ratu laut kidul keluar dari
istananya, dan melihat dunia luar. Ia tidak melihat apa-apa kecuali seorang pemeuda yang berdiri
mematung dengan
mengheningkan cipta. Ratu laut kidul langsung menuju ke arah pemuda itu, dan langsung bersujud dan meminta belas kasihan kepada pemuda itu, yang
tidk lain Senopati Sutowijoyo. "Silahkan tuan menghilangkan kesedihan hati paduka supaya segera hilang adanya huru-hara ini, dan segera kembali kerusakan-kerusakan yang
terjadi pada isi laut. Tuan, kasihanilah hamba, karena laut ini saya yang menjaga. Bahwa apa yang tuan mohon telah dikabulkan oleh Tuhan, sekarang sudah terkabul. Paduka dan turun paduka akan menjadi raja, memerintah tanah Jawa tidak saingannya. Seluruh jin dan peri semuanya tunduk pada paduka. Apabila kelak paduka mendapat musuh, semuanya akan
membantu. Sekehendak paduka, mereka menurut saja. Karena paduka pendiri (cikal bakal) raja Tanah Jawa ini". Mulailah hubungan Senopati Sutowijoyo dengan Ratu laut kidul. Berhari-hari Senopati berada di laut kidul bersama sang ratunya. Terucap oleh Senopati, "Seandainya Mataram mendapat musuh, siapa yang akan memberi tahu ratu kidul? orang mataram tidak ada yang
bisa melihat Ratu Laut Kidul". "Itu soal gampang saja. Jika paduka membutuhkan saya, dan hendak memanggil saya, sedakep mengheningkan cipta kemudian menghadap ke angkasa. Tentu hamba akan segera datang dengan membawa prajurit lengkpa dengan perlengkapan perang" jawab Ratu Laut Kidul. Setelah itu Senopati minta diri untuk kembali ke Mataram. Senopati muncul dari dalam air dan jalan di atas laut seperti halnya orang berjalan di darat
yang halus. Tetapi betapa kagetnya ketika sudah sampai pada tepi Parangtritis, ia melihat
Kanjeng Sunan Kalijaga sudah ada di tempat itu. Senopati menuju ke tempat Sunan Kalijaga dan melakukan tafakur, dan minta maaf atas tindakannya yang berjalan di atas air dan tidak basah.
Kanjeng Sunan Kalijaga bersabda, "Senopati hentikan kamu memamerkan kesaktian dengan berjalan di atas air dan tidak. Itu namanya tindakan seorang yang
kibir (sombong). Para wali tidak mau memakai cara yang demikian itu, karena akan mendapat murka dari Tuhan. Jika kamu ingin selamanya menjadi raja,
berjalanlah seperti sebenarnya orang berjalan. Mari ke MAtaram, saya ingin melihat rumahmu".

Tidak ada komentar: